
Pulang kampung idealnya merupakan perjalanan yang membawa rasa gembira. Akan tetapi, untuk banyak orang yang menggunakan jalan Pantura, terlebih lagi mereka yang berkendara dari Jakarta sampai Jepara, petualangan tersebut kerap kali berubah menjadi tantangan ketahanan sabar. Tiap tahun, selalu ada bagian tertentu yang tampaknya tidak pernah gagal menyuguhkan cobaan: segmen jalan Kaligawe hingga Sayung di Semarang, dilanjutkan dengan lintasan bergelombang di Demak.
Sudah sejak berpisah dari Jakarta, situasi macet telah dirasakan, namun setelah memasuki Jawa Tengah, tantangan nyata baru saja bermula. Ketika kendaraan mencapai area Kaligawe, tepat di hadapan kampus Universitas Sultan Agung (UNISSULA), kecepatannya perlahan-lahan mereda. Disinilah awal mula pengalaman dengan jalan Pantura yang tersohor tersebut. Banjir pasang yang kerapkali mengakibatkan genangan air semakin menyulitkan kondisi, sehingga membuat ruas jalan ini tampak seperti sungai alternatif bukannya jalur nasional resmi.
Dari Kaligawe ke Sayung, biasanya jarak itu dapat ditempuh dalam waktu kurang dari 30 menit namun terkadang bisa memakan waktu hingga dua jam yang membosankan. Kendaraan besar yang melaju lambat, bis antarkota yang sering parkir sembarangan, serta para pemudik yang menggunakan mobil sendiri saling bersaing untuk mendapatkan tempat, menjadikan perjalanan ini seperti sebuah perlombaan tak berkesudahan.
Terdapat sedikit optimisme ketika ada rencana pembangunan jalan toll baru di Sayung-Demak. Akan tetapi, kegembiraan tersebut cepat sirna. Faktanya, jalan tol ini tidak terutama dirancang untuk mengatasi kemacetan pada rute mudik lebaran, melainkan lebih ditujukan untuk perjalanan biasa. Akibatnya, rute tradisional itu pun masih seringkali dipadati kendaraan seperti sedia kala dan belum menunjukkan peningkatan signifikan dalam aliran lalu lintas.
Saat memasuki Demak, kondisi jalan tampak tidak kalah mengkhawatirkan. Fluktuasi permukaan jalan pada rute tersebut seolah menawarkan perjalanan roller coaster tanpa tiket untuk para pemudik. Tiap kali ban kendaraan melintasi lobangan aspal yang tidak rata, tubuh terasa diguncangkan oleh getaran yang bahkan lebih keras dari ombak di pesisir selatan. Belum lagi adanya lubang-jalannya yang dapat menjebak mobil dan mendorong pengendara agar tetap berhati-hati demi mencegah roda masuk ke dalamnya.
Untuk mereka yang telah terbiasa melakukan perjalanan pulang kampung, kemacetan di Semarang-Demak tidaklah banyak berbeda dibandingkan penderitaan di sepanjang jalur pantai utara lainnya. Daerah seperti Indramayu, Purwakarta, dan juga Cirebon pernah memiliki pengalaman menyeramkan serupa. Pada masa 1990-an sampai awal tahun 2000-an, kondisi lalu lintas di rute itu dapat menyegel kendaraan selama beberapa jam tanpa adanya kejelasan tentang kapan akan bisa melanjutkan perjalannya.
Riwayat kemacetan Pantura tampaknya mengalami pengulangan. Dahulu, di wilayah Cirebon, padatnya lalu lintas biasanya dipicu oleh adanya perlintasan kereta api serta pertigaan atau simpang siurnya yang tidak dapat menahan peningkatan volume kendaraan selama musim balik pulang. Saat ini, persoalan mirip itu pun hadir di Semarang dan Demak, walaupun memiliki pemicu yang berlainan.
Pemudik memiliki sedikit alternatif. Meski jalan tol telah tersedia, kapasitasnya masih kurang untuk menampung seluruh kendaraan. Sebagian besar pengendara lebih memilih rute arteris sebagai pilihan utama. Oleh karena itu, mereka harus bersiap-siap menghadapi macet yang sudah seperti halangan wajib dalam perjalanan mudik ke kampung halaman.
Mudik lebih dari sekedar perjalanan, namun juga sebuah tes kesabaran. Meski terjebak dalam kemacetan, rasa rindu pada kampung halaman selalu menjadi dorongan utama. Walaupun jalannya berhambatan dan badan merasa letih, tekad untuk bertemu dengan keluarga tidak akan pernah padam.
Tiap tahunnya, pihak pemerintah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan menerapkan beberapa pendekatan, seperti memodifikasi sistem lalu lintas dan menambah rute jalan alternatif. Akan tetapi, sejauh masih ada lebih banyak jumlah mobil dibanding batasan ketersediaan jalan, maka kemacetan pada rute itu bakal terus menjadi fenomena rutin setiap tahun tanpa bisa dicegah.
Untuk warga Jakarta yang mudik ke Jepara, bagian tersulit dalam petualangan ini adalah ketika sukses meninggalkan Demak dan melanjutkan perjalanannya menuju Kudus. Setelah tiba di Kudus, sisa perjalanan hingga sampai di Jepara menjadi sedikit lebih tenang. Namun, sebelumnya, mereka harus menempuh rute penuh ujian yang sangat memerlukan kesabaran ekstra. Dalam situasi macet yang menyebabkan stress tersebut, masih ada satu elemen penting yang memberikan makna pada seluruh proses; yaitu antusiasme bertemu lagi dengan anggota keluarga di desa asal. Apakah antriannya membengkak atau jalurnya rusak parah, para pemudik tetap pantang mundur. Sebab buat mereka, tidak ada kenangan liburan Lebaran yang bisa dibandingkan dengan waktu spesial bersama orang-orang yang dicintai.
Mudik selalu memiliki kisah tersendiri. Terkadang membuat frustrasi dan terkadang sangat menguras tenaga, namun dibalik semuanya itu terdapat memori-memori indah yang abadi. Meski kemacetan tampaknya tidak bisa dihindari, untuk orang-orang yang melaluinya, tiap hambatan dalam perjalanan mudik merupakan elemen unik dari petualangan berpulang ke rumah.
Sampai tahun depan, saat skenario tersebut mengulangi dirinya sendiri, harapan kami hanyalah agar petualangan pulang kampung selanjutnya dapat membaik. Setidaknya, jalan raya antara Semarang dan Demak tidak lagi menyiksakan para pemudik seperti neraka.
Posting Komentar