
, Jakarta - Perbaikan UU Polisi Republik Indonesia RUU Polri Yang akan dipertimbangkan oleh Komisi III DPR mengundang berbagai kontroversi. Menurut rancangan Undang-Undang tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri), yang sudah diawali pembahasan tahun 2024, sejumlah pasal baru ini menimbulkan keprihatinan dengan potensi adanya kemungkinan kembali ke era serupa dengan Orde Baru.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Kepolisian Republik Indonesia (RUUPolRI) tidak segera menjadi topik pembahasan mendatang meskipun ada diskusi baru-baru ini. "Saat ini DPR belum memiliki rencana untuk memperbarui Undang-undang Kepolisian," tutur Dasco ketika diwawancara. Tempo Pada hari Senin, tanggal 24 Maret 2025.
Ketua DPR, Puan Maharani, juga mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada surat presiden yang diterima terkait pembahasan revisi Undang-Undang Kepolisian Nasional (Polri).
Dalam rancangan Undang-Undang tentang Kepolisian Republik Indonesia, terdapat sejumlah ketentuan yang dapat membawa kembali era serupa dengan Orde Baru.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil (website AJI), beberapa pasal di bawah ini telah ditetapkan sebagai pasal kontroversial dalam rancangan tersebut. RUU Polri :
1. Pasal 14 ayat 1 huruf g menegaskan tugas Polri adalah mengoordinasikan, memantau, serta memberikan bimbingan teknis kepada kepolisan khusus, pegawai negeri sipil sebagai penyidik, pihak lain yang diangkat oleh undang-undang menjadi penyidik, dan berbagai jenis perlindungan diri sendiri.
Berdasarkan ketentuan itu, implementasi tugas oleh KPK dan PPNS sebagai penegak hukum makin mengurangi kemerdekaannya.
2. Pasal 14 ayat 1 huruf o, melaksanakan pengintipan di bawah kewajiban tugas kepolisian sebagaimana ditentukan oleh perundangan yang berlaku tentang perekaman percakapan rahasia.
Wewenang ini bisa menghasilkan perbedaan dengan wewenang instansi penegak hukum lain seperti Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Akan tetapi, ketidaknyamanan utamanya terletak pada fakta bahwa aturan tersebut tidak menyebutkan persyaratan bagi anggota kepolisian untuk memperoleh izin sebelum melakukan pengintaian, berbeda dengan KPK yang harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK.
3. Pasal 14 ayat 1 poin e, kepolisian berperan aktif dalam mendirikan sistem hukum bangsa.
Pasal ini menciptakan keraguan mengenai wewenang Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM.
4. Pasal 14 ayat 2 huruf c, wewenang Kepolisian Republik Indonesia mencakup pengelolaan sistem smart city. smart city ) berkolaborasi dengan Pemerintah Nasional dan pemerintahan lokal
Rencana penyerahan Wewenang ke Polri di bidang pengelolaan Smart City pun mengindikasikan bahwa draft Rencana smart city pemerintah lebih menonjolkan strategi keamanan.
5. Pasal 16 ayat 1 huruf q menginformasikan bahwa Polri memiliki wewenang untuk melaksanakan tindakan pengawasan, pemblokiran, atau pemutusannya serta langkah-langkah untuk memperlambat akses ke Ruang Siber guna mendukung Keamanan Dalam Negeri. Hal ini dilakukan dalam koordinasi dengan kementerian yang bertanggung jawab atas urusan pemerintahan di sektor komunikasi dan informatika serta/atau penyedia layanan telekomunikasi.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, pasal ini dapat membahayakan kebebasan berekspresi di ranah publik karena pemberian kuasa kepada polisi untuk ikut campur dalam urusan dunia maya. Aksi memperlambat dan memutuskan akses internet sebelumnya telah terjadi pada tahun 2019 guna meredam protes di Papua dan Papua Barat. Hal tersebut sempat dinyatakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sebagai perilaku ilegal; tetapi apabila undang-undang ini disahkan nanti, itu akan memberikan otoritas tanpa batas bagi Polri untuk melakukan langkah-langkah semacam itu lagi. Selain itu, pengawasan polri atas area digital juga dipandang seperti sebuah gangguan hak dari lembaga lain termasuk Badan Sandi dan Siber Negara serta Kementerian Komunikasi dan Digital.
6. Pasal 16A dan 16B, yang menetapkan wewenang Kepolisian Republik Indonesia dalam merumuskan rencana dan kebijakan di sektor Inteligensia dan Keamanan (Intelkam) sebagai komponen dari rencana kebijakan nasional serta penambahan wewenang Intelkam untuk melindungi kepentingan negara.
Pasal itu membuat Khawatir Koalisi Masyarakat Sipil sebab Polri bakal punya wewenang buat mendapatkan informasi rahasia dari badan-badan intelijen lainnya semacam BIN, BSSN, serta BAIS. Penambahan tugas Intelkam Polri dalam upaya mencegah aktivitas-aktivitas tertentu demi melindungi kepentingan negara juga tak menyebut secara jelas berapa luas ranjauh kekuatan ini di bawah kendali Polri.
7. Pasal 16 ayat (1) huruf n, mengasihkan wewenang kepada polisi untuk merekomendasikan penunjukan pemeriksaan bagi Pegawai Negeri Sipil atau petugas pemeriksa lainnya yang telah ditentukan dalam undang-undang sebelum dilantik oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Rencana pasal itu bisa memungkinkan KPK harus mencari persetujuan dari kepolisian untuk menunjuk penyidik mereka, hal ini dapat menjauhkannya dari otonomi KPK saat menyelidiki kasus-kasus tertentu sebab pilihan penyidik akan diatur oleh institusi polisi.
8. Pasal 16 ayat 1 huruf p, kepolisian diberi kewenangan untuk menerima hasil Penyelidikan dan/atau Penyidikan dari Penyidik pegawai negeri sipil serta/atau penyidik lainnya guna pembuatan surat pengantar sebagia persyaratan validitas lengkapnya berkas perkara yang akan diarahkan kepada penuntut umum.
Undang-undang ini menjadikan Polri sebagai otoritas utama di bidang investigasi atas entitas lainnya. Ini secara signifikan dapat mengurangi kedaulatan KPK dan berbagai departemen lain yang sebelumnya tidak bergantung pada persetujuan dari pihak polisi untuk melanjutkan kasus mereka menuju proses peradilan dengan bantuan Jaksa sebagai Pengacara Negara.
Beberapa undang-undang kontroversial menimbulkan keragu-raguan tentang kemungkinan Indonesia kembali ke era Orde Baru. Selama periode tersebut, tidak hanya berperan sebagai tenaga pertahanan, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—yang telah berkembang menjadi Polri dan TNI—memiliki tanggung jawab tambahan untuk merencanakan jalannya negeri. Menurut tulisan D.W Firdaus pada artikel "Kebijakan Dwifungsi ABRI dalam Perluasan Peran Militer di Bidang Sosial-Politik tahun 1966–1998" (2016), ide tentang dwifungsi ABRI mulai muncul semenjak awal rezim Orde Baru yang dikemukakan oleh AH Nasution dan dikenal dengan istilah jalan tengah atau middle way.
Undang-undang tentang Kepolisian Republik Indonesia itu mencakup beberapa pasal kontroversial yang menyerahkan beragam wewenang kepada kepolisian di luar tanggung jawab mereka yang normal, mirip dengan era Orde Baru tetapi disesuaikan untuk mengikuti perkembangan zaman.
Ni Kadek Trisna Cintya Dewi menyumbang untuk penyusunan artikel ini.
Pilihan ediitor: Rancangan Undang-Undang Tentang Polri Didiskusikan Sesudah DPR Menerima Surat Presiden, Inilah Hal-hal Utama yang Berubah dalam Revisinya
Posting Komentar