
SAMPIT, .CO — Serangan buaya terhadap seorang penduduk di Kecamatan Pulau Hanaut baru-baru ini menciptakan kehebohan di masyarakat Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Insiden tersebut sekali lagi menyoroti konflik yang berkelanjutan antara manusia dengan hewan liar dalam wilayah pesisir Kotim.
Merespon situasi tersebut, Bupati Kotim, Halikinnor mengambil tindakan guna mencegah agar permasalahan yang selalu kembali terjadi dapat diatasi. "Saya merasakannya bersama-sama dengan para keluarga korban dan saya harap mereka mendapatkan ketabahan dalam menghadapi ini. Kondisi ini bukanlah insiden pertamanya, dan saatnya bagi kami untuk melakukan tindakan nyata," katanya pada hari Selasa, 8 April.
Dalam tindakan pertamanya, Pemkab Kotim sudah meminta kepada penduduk untuk mengurangi kegiatan mereka di sekitar tepian sungai, khususnya pada waktu fajar dan senja, karena saat itu buaya cenderung lebih banyak berburu. Dia juga menyatakan bahwa modifikasi lingkungan serta kerusakan tempat tinggal asli membuat hewan tersebut semakin sering mendekati permukiman manusia.
"Saat merasa lapar, sifat predator mereka akan keluar. Mereka dapat menilai segala sesuatu di sungai sebagai potensi mangsa, bahkan manusia," ujarnya.
Selain tindakan jangka pendek, Pemkab juga kembali menghidupkan rencana untuk menjadikan Pulau Lepeh di Kecamatan Pulau Hanaut sebagai lokasi penangkaran buaya.
Area tersebut direncanakan untuk digunakan sebagai lokasi pemeliharaan dan peng.Feeding secara berkala, sambil dikembangkan menjadi tujuan pariwisata yang didasarkan pada upaya pelestarian alam. Akan tetapi, rencana ini belum dapat dilaksanakan sampai mendapatkan persetujuan dari pemerintah nasional. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa status tanahnya terletak di bawah otoritas Kementerian Pertahanan serta Kementerian Lingkungan Hidup.
"Bila mereka sudah kenyang, biasanya tidak akan berkeliling ke daerah penduduk," terangkan dia.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten juga mengembangkan Pulau Hanibung di Desa Camba, Kecamatan Kota Besi menjadi kawasan taman satwa terpadu. Tempat ini nantinya akan menyimpan beragam hewan liar yang telah diamankan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), seperti orangutan dan buaya.
“Kita ingin punya tempat sendiri. Sudah puluhan orangutan yang diselamatkan dari kawasan permukiman, dan selama ini mereka dikirim ke Tanjung Puting di Pangkalan Bun. Kenapa tidak kita kelola sendiri di sini?” bebernya.
Halikinnor pun membuka kesempatan kolaborasi dengan badan usaha milik swasta lewat skema Corporate Social Responsibility (CSR). Ini termasuk mendonasikan benih ikan yang menjadi sumber makanan bagi buaya, selain itu ada pula pembangunan infrastruktur kawasan pelestarian dan pariwisata.
"Bayangkan jika komunitas dapat merancang dan mendirikan rumah lanting untuk dijadikan tempat menginap yang berada di atas air. Hal ini tidak hanya menjadi jawaban bagi masalah lingkungan tetapi juga membuka kesempatan dalam bidang ekonomi," jelasnya. (sli/kpg)
Posting Komentar