,

Oleh Achmad Nur Hidayat, Ekonom serta Ahli Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta

Performa awal tahun yang mengecewakan: Apakah Ini Pertanda Krisis Keuangan?

Menurut pengamatan website Kemendagri Kamis (13/03), pendapatan pajak di Indonesia untuk bulan Januari 2025 tercatat sebesar Rp 88,89 triliun yang setara dengan 4,06% dari sasarannya dalam satu tahun memberikan peringatan serius tentang ketidakstabilan keuangan negara ini.

Angka tersebut mengalami penurunan signifikan sebesar 41,86 persen dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2023, dan mencatatkan capaian untuk bulan Januari sebagai yang terendah dalam rentang lima tahun belakangan, apabila dilihat dari presentasinya terhadap sasarannya dalam Anggaran Pendanaan Belanja Negara (APBN) tahunan.

Jika pada tahun-tahun sebelumnya pendapatan pajak bulan Januari biasanya memberikan kontribusi antara 7,5% sampai dengan 9,2% terhadap target tahunan, maka angka 4,06% untuk tahun 2025 mencerminkan adanya potensi keterlambatan dalam pencapaian pendapatan. Apabila kondisi tersebut tetap berlangsung, hal itu dapat memicu pengurangan pendapatan nasional hingga Rp300 sampai Rp400 triliun, sehingga akan secara langsung meningkatkan defisit.

Kajian internal kami bahkan memprediksi, bila tidak ada langkah koreksi fiskal yang konkret dan sistemik, defisit APBN 2025 dapat mendekati Rp800 triliun atau sekitar tiga persen PDB. Ini lebih buruk dari prediksi Goldman Sachs yang baru memperkirakan defisit 2,9 persen PDB.

Perlu dicatat bahwa Goldman Sachs, sebuah institusi keuangan terkemuka global, telah meramalkan bahwa defisit Indonesia dapat menyentuh angka 650 hingga 750 triliun rupiah. Biasanya ramalan ini menjadi perhatian. baseline dianggap realistis oleh para investor global.

Coretax: Di Tengah Ambisi Modernisasi dan Kenyataan Gagalnya Sistem

Menurut saya, pengurangan pendapatan pada bulan Januari mengandung dua interpretasi. Interpretasi pertama berkaitan dengan kelemahan sebenarnya dalam kondisi ekonomi masyarakat, sedangkan interpretasi kedua merupakan indikator adanya masalah dalam manajemen pajak yang disebabkan oleh Coretax.

Ternyata, salah satu penyebab utama penurunan pendapatan pajak adalah masalah dalam pelaksanaan Coretax, yaitu sistem manajemen perpajakan baru yang diperkenalkan sejak 1 Januari 2025. Sayangnya, aplikasi ini malah memicu tantangan signifikan karena dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan pengumpulan pajak secara lebih baik. Sejumlah wajib pajak merasa kesulitan ketika mencoba melakukan setoran, laporan, bahkan hanya sekadar mengakses layanan dasar dari sistem tersebut disebabkan oleh berbagai macam error pada Coretax.

Pernyataan resmi pemerintah sampai saat ini kurang mendetail dan tampak seperti mencoba untuk mengelabui tentang situasi penting tersebut. Sebenarnya, Coretax telah menimbulkan gangguan dalam sistem pengumpulan pajak, menyebabkan pendapatan yang semestinya direkam di bulan Januari menjadi ditunda atau malahan tidak berhasil dimasukkan ke kas negara sama sekali. Hal ini bukan hanya soal teknikal, tetapi merupakan suatu hal esensial yang dapat membahayakan stabilitas ekonomi nasional.

Saat sistem perpajakan mengalami ketidakmampuan dalam bekerja dengan baik, sumber pendapatan negara menjadi terhambat, serta pemerintah kehilangan fleksibilitas anggaran untuk melaksanakan proyek-proyek utama mereka. Di lingkungan Indonesia, tempat pengeluaran sosial semacam bantuan sosial, subsidi energi, sampai program-program populer layaknya makan siang gratis sangat bertumpu pada kinerja dari pembayaran pajak, oleh karena itu, penurunan fungsi Coretax bisa memberikan dampak yang signifikan bagi kesinambungan sosial dan kondisi ekonomi lokal.

Perkiraan Performa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Bulan Februari: Semakin Terbebani

Merespon pertanyaan mengenai rilisan Proyeksi Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) KiTa Edisi Februari 2025 yang dijadwalkan untuk hari Kamis nanti, diprediksi bahwa kinerjanya pada bulan Februari akan tetap terbebani, mungkin malah lebih rendah dibandingkan dengan kondisi pada Januari.

Kenapa demikian? Hal ini disebabkan karena Coretax belum benar-benar kembali normal sesuai dengan beberapa informasi dari lapangan sampai pertengahan Maret tahun 2025. Mengingat pendapatan pajak pada bulan Januari baru mencapai angka Rp88,89 triliun saja, sangat tidak mungkin untuk mengimbangi defisit pajak yang telah terlambat ditagih serta tetap mempertahankan sasaran yang sudah direncanakan di bulan Februari mendatang.

Apabila kondisi febuari masih lesu, maka kedua bulan pembukaan tahun 2025 ini bakal mencatatkan capaian pajak terendah dalam dua puluh tahun belakangan, mengindikasikan permulaan defisit keuangan negara yang signifikan.

Hanya Bea Cukai Tidak cukup Mendukung Kebijakan Keuangan

Tentu saja, pendapatan Bea Cukai pada Januari 2025 tercatat senilai Rp26,29 triliun, meningkat bila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Meskipun demikian, bagian kontribusi Bea Cukai baru mencapai kisaran 15% dari keseluruhan pajak di tanah air. Ini berarti bahwa walaupun bidang ini mengalami pertumbuhan, tetapi masih belum bisa menutupi defisit akibat penurunan sektor pajak lainnya.

Kami sadari bahwa rasio pajak di Indonesia masih relatif rendah, mencapai sekitar 10,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga ketergantungannya terhadap penerimaan pajak pendapatan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta sektor dalam negeri cukup besar. Sistem manajemen seperti Coretax juga menjadi faktor penting. error , masuknya pendapatan utama bagi negara secara otomatis terpengaruh, sehingga hal ini dengan segera akan mengurangi likuiditas Anggaran Pendanaan Belanja Negara (APBN).

Dampak dari Defisit terhadap Ekonomi Makro: Apakah Harus Dilihat Secara Realistis Atau Malah Sekadar Pesimistis?

Proyeksi defisit 2,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB) menurut Goldman Sachs tetap dianggap sebagai estimasi yang optimis, asalkan didukung dengan perbaikan signifikan. Menurut perkiraan kita pada bulan Januari 2025 silam, kemungkinan adanya defisit mencapai Rp800 triliun atau mendekati tiga persen PDB merupakan gambaran nyata bila kondisi saat ini terus dibiarkan dan tidak ada penyelesaian cepat.

Selain itu, dengan komitmen kampanye Presiden Prabowo-Gibran yang berfokus pada pengeluaran besar-besaran, khususnya di bidang sosial dan pangan, kesempatan untuk menurunkan anggaran semakin sempit.

Di waktu yang sama, pinjaman tambahan untuk mengatasi kekurangan anggaran mungkin jadi lebih berbiaya tinggi, sebab pasar surat hutang telah mulai memberikan respons negatif terhadap pendapatan negara yang merosot. Yield Obligasi negara (SUN) telah mengalami kenaikan, yang menunjukkan bahwa pasar meminta premi risiko lebih besar untuk hutang pemerintahan karena ketakutan terkait kondisi fiskal.

Apabila pemerintah tetap meneruskan kebiasaan mengeluarkan anggaran tanpa didukung oleh pendapatan yang cukup, hal ini dapat menimbulkan peningkatan risiko kenaikan utang. Akibatnya, beban bunga atas utang tersebut bakal semakin membengkak dan telah melampaui total Rp500 triliun setiap tahunnya.

Tindakan Mendesak yang Perlu Ditangani oleh Pemerintah

Pemerintah tak dapat memundahkan lagi pengakuan jujur terkait permasalahan Coretax serta pendapatan negara. Kejernihan dalam tindakan akan sangat penting guna melindungi kepercayaan publik maupun investor. Beberapa tindakan cepat harus diambil:

Untuk audit menyeluruh terkait Coretax, lebih baik mengikutsertakan BPK, KPK, serta lembaga independen sejak dini supaya hasilnya bersifat obyektif.

Menjalankan layanan darurat administrasi perpajakan, yang mencakup pembukaan kembali layanan manual secara temporary, sehingga Wajib Pajak masih dapat melakukan pelaporan dan pembayaran.

Peninjauan kembali pengeluaran pemerintah, menghapus pembelanjaan yang tidak penting, serta menyusun ulang atau mengurangi beberapa kebijakan populer yang memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Merekonstruksi pandangan fiskal untuk tahun 2025, memperbarui tujuan pajak dan defisit dengan cara yang masuk akal, kemudian menyampaikan informasi tersebut kepada pasar dan masyarakat secara transparan.

Menyusun pilihan pendanaan fiskal baru, misalnya dengan mendorong Badan Usaha Milik Negara untuk meningkatkan pembagian laba dan segera menjual aset. recovery , atau melakukan strategic partnership secara pribadi tanpa bertambahnya hutang.

Transparansi dalam Memelihara Kepercayaan Antara Pemerintah dengan Masyarakat adalah Prioritas Utama

Krisis fiskal tidak sekadar tentang angka, tetapi lebih pada masalah kepercayaan (trust). Apabila pemerintah berkelok-kelok dalam menyampaikan kenyataan bahwasanya CoretAX tak berhasil, pendapatan pajak sedang diambang ancaman, serta Anggaran Pendanaan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 mungkin saja merugi dengan jumlah yang signifikan, niscaya para pelaku pasar bakal hilang kepercayaannya, sehingga beban fiskal pun menjadi bertambah mahal.

Sehingga, agar krisis fiskal tidak menjelma menjadi krisis kepercayaan, pemerintah perlu bersikap transparan dan jujur, menerapkan tindakan pembenahan anggaran, serta menciptakan diskusi dengan publik, para pelaku pasar, dan dunia usaha.

Apabila demikian adanya, perkiraan defisit sebesar 2,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB) hanyalah awalnya saja. Sesuai dengan dugaan kita, defisit mungkin mencapai angka Rp800 triliun atau setara dengan 3% PDB, yang berpotensi mengganggu keseimbangan ekonomi dalam jangka waktu lama.

Pada hari Kamis nanti, ketika APBN KiTa Edisi Februari 2025 diluncurkan, masyarakat harus diberikan transparansi yang memadai, terlebih mengenai risiko keuangan fiscal yang tengah dihadapi oleh Indonesia pada masa kini.

Post a Comment

أحدث أقدم