
KARAWANG, – Lebih dari 20 tahun telah berlalui sejak kediaman dan lahan yang dimiliki Henny di Karawang, Jawa Barat, diratakan untuk proyek jalanan mendukung pembangunan jembatan Batujaya.
Meskipun demikian, sampai saat ini dia masih mengalami pembebanan dengan pembayaran tagihan serta pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk properti yang telah lama ditinggalkannya.
Henny menyatakan bahwa rumah dan tanahnya yang berada di Dusun Krajan, Desa Batujaya, telah digusur pada tahun 2005.
Dia dipaksa mengosongkan lahan sebesar 426 meter persegi untuk membangun jalur penghubung antara Karawang dan Bekasi, walaupun dia tidak setuju dengan nominal kompensasi yang disajikan oleh pemerintah.
"Henny menyatakan pula bahwa dia tetap membayar PBB; yang terkini pada tahun 2024 silam, di mana ia menerima SPPT dan langsung melunasinya," ungkapnya saat hari Sabtu, tanggal 22 Maret 2025.
Pada tahun 2005 ketika digusur, Henny mengatakan bahwa tanah miliknya hanya dinilai seharga Rp 80 ribu per meter.
Angka tersebut melebihi permintaannya yang semula sekitar Rp 230 ribu per meter. Kendati demikian, pembayarannya diselesaikan dengan sistem mencicil.
"Sudah begitu, pembayarannya pun dicicil oleh pemerintah. Jadi, meski terpaksa mengungsi, saya tetap harus membayarnya," katanya.
Henny juga menyebutkan bahwa dia pernah dituntun untuk menandatangi kwitansi kosong sebanyak tiga kali, tanpa sadar bahwa hal tersebut berarti dia sudah setuju dengan transaksi keuangan tersebut.
"Saya memang tidak tahu pasti, Pak. Saat itu saat menandatangi formulir yang masih kosong. Saya hanya menerima saja, karena jika tidak ditanda-tangani rumah saya akan dibully dan hancur oleh alat berat," ujarnya.
"Setiap malam saya menangis. Orang banyak mengatakan bahwa hal itu terjadi begitu cepat seolah-olah kami digusur. Saya telah menderita selama dua puluh tahun ini," jelasnya.
Saat ini Henny berkarir sebagai babysitter di Bekasi, sedangkan ketiga anaknya menetap di sebuah rumah yang dia bangun secara bertahap dengan bantuan dari keluarga.
Dia menginginkan agar Bupati Karawang serta Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bisa meninjau kasus tersebut dengan serius. Dia menuntut adanya keadilan dan pemberian sisanya dari uang ganti kerugian yang pantas diterimanya.
Casus ini sempat mencapai tahap persidangan, tetapi hanyalah berupa tindak pidana terhadap oknum pejabat, bukan perkara perdata yang berkaitan dengan klaim kompensasi.
"Hamba dulu menjadi saksi di mahkamah, namun saat kasus kriminal tersebut sang pegawai tersandung hukuman. Saya hanya warga biasa tidak mengerti, maksudnya mengapa tidak mencoba memasukkan kasus perdata saja," ujar Henny.
إرسال تعليق